Saya salah satu orang yang cukup beruntung merasakan keberhasilan dalam menekuni usaha kecil saya beberapa tahun ini. Rasa penat, lelah dan pikiran yang tercurah selama ini serasa berbalas dengan manisnya buah yang bisa mulai dipetik. Namun ada satu hal yang berasa masih mengganjal dan mulai mengkhawatirkan bagi saya. Masihkah produk-produk saya, kami, dan bangsa ini mampu bersaing dengan hujaman produk asing yang kian meraih hati masyarakat kita sendiri?
Pikiran tersebut semakin berkecamuk dan membuat saya kian tak berdaya. Bagaimana tidak? Sebagai seorang pengusaha dengan modal kecil, saya harus bertarung dengan kerasnya pasar global, bersaing dengan raksasa-raksasa yang dalam masalah hargapun kadang mustahil untuk diimbangi. Apa arti sebuah kesuksesan bagi saya kalau negeri saya masih terperosok dalam lubang dan belum bisa bangkit berdiri?
Kita mungkin bisa sedikit berbangga dengan munculnya beberapa industri IT dalam negri yang dengan semangat tinggi walau tertatih-tatih berani membusungkan dada. Saya sebut saja, ada Advan, byon, Zyrex, Axioo dsb. Atau berbagai produk lain yang takdisangka merupakan produk anak bangsa yang mendunia seperti Esenzza, Sepatu Buccheri, Jeans Lea, Edward Forrer, Silver Queen, Indomie, Polytron, Sepeda Polygon, dll. Mereka turut berjuang mengambil alih pasar di dalam dan luar negeri. Tapi, entahlah akan mampu bertahan seberapa lama? Namun masih jauh lebih disyukuri daripada mobil Esemka yang tidak tahu entah kemana rimbanya.
Produk dalam negeri yang mendunia :
lihat : Sumber
Namun seberapa pentingkah kita memikirkan hal itu? Sedangkan mungkin saat ini lebih penting memikirkan kepuasan kita sendiri? Kadangkala saya prihatin memperhatikan karyawan, dengan gaji perbulan berkisar antara 1-2 juta rupiah tak kuasa menahan keinginan untuk selalu membeli smartphone terbaru dengan harga 2 -3x lipat gaji mereka. Lantas bagaimana masa depan mereka kalau gaji pun kini tak cukup untuk mengimbangi?
Geliat produk asing di dalam negeri kita ini semakin terasa imbasnya. Mulai dari perilaku konsumtif yang kian meningkat hingga pada hilangnya rasa cinta produk dalam negri. Secara sadar atau tidak, secara ekonomi kita berada dibawah pengaruh negara-negara raksasa produksi. Gaji kita telah tergadai oleh hutang kredit dari barang-barang yang belum tentu penting. Gema iklannya pun membuat kita sulit berfikir jernih, ingin ini, itu, bahkan semua.
Lantas kapankah kita akan mulai mencipta? Mungkinkah perlu ada seleksi pada produk-produk asing yang masuk agar kita bisa menahan bahkan mengurangi? Atau Bisakah kita mendorong terciptanya produk-produk lokal yang mampu bersaing? Jawabannya adalah mulailah dari diri kita masing-masing untuk berani berinovasi. Alasan klasik akan kurangnya modal harus kita hilangkan. Mulailah dari hal-hal kecil karena semua adalah investasi bagi kita dan negeri kita. Dan yang paling mudah dilakukan adalah 'Mulailah Cintai Produk Dalam Negri'. (dmr)
0 komentar:
Post a Comment